Senin, 19 Januari 2009

kegiatan rohani pras

Khutbah Idul Adha 1429 H: Membangun Kembali Semangat Berqurban
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwartuna.com - Allahu Akbar- ALLahu Akbar- Allahu Akbar - WaliLlahil Hamd.
Jama’ah Idul Adha yang senantiasa mengharapkan ridha Allah swt.
Alhamdulillah, tentu merupakan satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terhingga bahwa pada hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam yang bersifat internasional, setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini sekitar tiga juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras serta dari berbagai tingkat sosial dan penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji: “Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 27)
Hari raya Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)
Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba - qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” - lebih baik aku memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.
Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah: “mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.








Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLLahil Hamd
Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah (kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).
Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia: “katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah. Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan keluarganya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumuLlah.
Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.
Jama’ah Shalat Idul Adha RahimakumuLlah.
Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya, dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya: “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)
Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Adha yang berbahagia.
Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa: “Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan doanya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: : “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-Shaffat: 102)
Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.
Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLlahil Hamd
Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?
Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian, disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.
Dalam hal ini, tentu kita sepakat bahwa kita sangat berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk ilmu pengetahuan: “Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.
Hadirin wal Hadirat RahimakumuLlah.
Kita juga sadar bahwa kita berhutang budi dalam memanfaatkan negeri ini kepada orang tua generasi pendahulu, para perintis dan mereka yang telah berjasa untuk itu. Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama yang kita banggakan ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam mempertahankan risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.
Demikian sungguh pelajaran yang sangat berharga. Kita selaku generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangkaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah generasi kita saat ini mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur seperti ini yang memang telah diperintahkan oleh Allah swt?. “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)
Disini hari raya Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwwah, pengorbanan dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat.
















Dan Berkurbanlah!
Oleh: Ulis Tofa, Lc

Syariat berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurban mulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya –gandum-.
Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Syariat berkurban dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (34)
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
Peristiwa berkurban paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.”
Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al-Qur’an,
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” A(s-Shaffat:100-110)
Nikmat Allah
Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar: 1-3
“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Sebelum Allah swt memerintahkan berkurban, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.
Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)
Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat:21)
Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah:3)
Hakekat Berkurban
Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Berkurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.
Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.
Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban.
Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?
Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.
Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,
”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Dan berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekedar memotong hewan. Allahu A’lam.














Keteladanan Nabi Ibrahim
Oleh: Tim dakwatuna.com

Kata uswah atau keteladanan dalam Al-Qur’an hanya ditujukan pada dua tokoh nabi yang sangat mulia, Nabi Ibrahim a.s. (Mumtahanah: 4,6) dan Nabi Muhammad saw. (Al-Ahzab: 21). Demikian juga gelar khalilullah (kekasih Allah) hanya disandang oleh kedua nabi tersebut. Begitu juga shalawat yang diajarkan Rasulullah saw. pada umatnya hanya bagi dua nabi dan keluarganya. Pilihan Allah ini sangat terkait dengan risalah yang telah dilakukan oleh keduanya dengan sangat sempurna.
Sejarah dan keteladan Nabi Muhammad saw. telah banyak disampaikan. Dan pada kesempatan ini marilah kita sedikit menyingkap sejarah dan keteladanan Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.’” (Al-Baqarah: 124)
Berkata Ibnu Abbas r.a., “Belum ada para nabi yang mendapatkan ujian dalam agama kemudian menegakkannya dengan sempurna melebihi Ibrahim as.” Ibnu Abbas banyak menyebutkan riwayat tentang ujian yang dilaksanakan Ibrahim a.s, di antaranya manasik atau ibadah haji; kebersihan, lima pada bagian kepala dan lima pada tubuh. Lima di bagian kepala yaitu mencukur rambut, berkumur, membersihkan hidung, siwak, dan membersihkan rambut. Lima pada bagian tubuh yaitu menggunting kuku, mencukur rambut bagian kemaluan, khitan, mencabut rambut ketiak, dan istinja.
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas mengatakan, ”Kalimat atau tugas yang dilaksanakan dengan sempurna yaitu meninggalkan kaumnya ketika mereka menyembah berhala, membantah keyakinan raja Namrud, bersabar ketika dilemparkan ke dalam api yang sangat panas, hijrah meninggalkan tanah airnya, menjamu tamunya dengan baik, dan bersabar ketika diperintah menyembelih putranya.
Firman Allah yang berbunyi ‘faatammahunna’ mengandung makna bahwa tugas yang diperintahkan kepada Ibrahim dilaksanakan dengan segera, sempurna, dan dilakukan semuanya. Menurut Abu Ja’far Ibnu Jarir, “Yang di maksud ‘kalimat’ boleh jadi mengandung semua tugas, atau sebagiannya. Tetapi tidak boleh menetapkan sebagian (tugas) tertentu kecuali ada dalil nash atau ijma’ yang membolehkannya.
Ibrahim Dan Kaumnya
Ibrahim as. bin Nahur –dalam Al-Qur’an bapaknya dinamakan Aazar, tetapi yang lebih kuat bahwa Aazar adalah nama berhala yang dinisbatkan pada bapak Ibrahim, karena pekerjaannya yang senantiasa membuat berhala– adalah seorang yang mendapat karunia teramat besar dari Allah. Semenjak kecil beliau terbebas dari kemusyrikan bapak dan kaumnya. Ibrahim menjadi seorang yang hanif dan imam bagi manusia (An-Nahl: 120-121). Dan Ibrahim sangat bersemangat untuk mendakwahi bapaknya dan kaumnya agar hanya menyembah Allah saja. Ini adalah sunnah dakwah bahwa yang pertama kali harus didakwahi adalah orang tua dan keluarga, kemudian kaum dan penguasa.
Menurut pendapat yang kuat, Ibrahim lahir di kota Babil (Babilonia), Irak. Penduduk kota Babil menyembah berhala. Dan bapaknya termasuk orang yang ahli dalam membuat berhala. Ibrahim membantah penyembahan mereka, bahkan berencana untuk menghancurkan berhala-berhala itu. Peristiwa ini diabadikan dalam beberapa surat, di antaranya di QS. 21: 51-70, 26: 69-82, dan 37: 83-98.
Penduduk kota Babil memiliki tradisi merayakan Id setiap tahun dengan pergi keluar kota. Ibrahim diajak bapaknya untuk ikut, tetapi Ibrahim menolak dengan halus. Ia berkata, “Sesungguhnya Aku sakit.” (Ash-Shaaffat: 88-89). Dan ketika kaumnya pergi untuk merayakan Id, Ibrahim segera menuju penyembahan mereka dan menghancurkan dengan kampak yang ada di tangannya. Semua dihancurkan dan hanya disisakan satu berhala yang besar, dan kampak itu dikalungkan pada berhala itu. (Al-Anbiya’: 58)
Demikianlah, Ibrahim menghinakan penyembahan kaumnya. Sebenarnya mereka sadar akan kesalahan itu. Tetapi, yang berjalan pada mereka adalah logika kekuatan melawan kekuatan logika Ibrahim. Akhirnya mereka memutuskan untuk membakar Ibrahim (Ash-Shaaffat : 97; Al-Anbiya’: 68-70).
Ibrahim Dan Raja An-Namrud
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
Menurut ulama tafsir dan nasab, raja itu adalah Raja An-Namrud bin Kan’an, penguasa Babil. menurut As-Sudy, ”Debat ini terjadi antara Ibrahim dan Raja Namrud setelah Ibrahim selamat dari upaya pembunuhan dibakar api.” Zaid bin Aslam berpendapat, ”Ibrahim diutus pada raja yang diktator tersebut, memerintahkan agar beriman kepada Allah. Berkali-kali diseru agar beriman, tetapi terus menolak. Kemudian menantang Ibrahim a.s. agar mengumpulkan pengikutnya dan Namrud pun mengumpulkan rakyatnya lantas terjadilah debat yang disebutkan Al-Qur’an tersebut.” Sekali lagi kekuatan logika Ibrahim a.s. mengalahkan logika kekuasaan Namrud.
Kisah kematian Raja Namrud dan tentaranya disebutkan dalam Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah Ibnu Katsir. Namrud mengumpulkan tentara dan pasukannnya saat terbit matahari. Kemudian Allah mengutus nyamuk yang menyebabkan para tentara dan pasukannya tidak dapat lagi melihat matahari. Nyamuk-nyamuk besar itu memakan daging dan darah mereka dan meninggalkan tulangnya. Salah satu nyamuk masuk ke hidung Raja Namrud dan diam di sana selama 400 tahun sebagai bentuk adzab Allah atas raja itu. Selama waktu itu pula Namrud senantiasa memukuli kepalanya hingga ia mati.
Ibrahim Dan Keluarganya Hijrah Ke Baitul Maqdis
Setelah selamat dari upaya pembunuhan kaumnya dan setelah terbebas dari kezhaliman Raja Namrud, Ibrahim a.s. bersama istrinya, Sarah, bapak, dan saudara sepupunya, Luth a.s. hijrah menuju Syam. Tepatnya ke Baitul Maqdis, Palestina (Ash-Shaaffat: 99).
Di tengah jalan, di daerah Haran, Damasqus, bapaknya meninggal. Ibrahim bersama keluarganya menetap sementara di Haran. Penduduk kota ini menyembah bintang dan berhala. Di kota ini Ibrahim a.s. menyinggung dan menentang penyembahan mereka yang menyembah bintang, bulan, dan benda langit lainnya. Kisah ini diabadikan dalam Alquran surat 6:75-83.
Ibrahim a.s. dan keluarganya melanjutkan perjalanan ke Baitul Maqdis setelah sebelumnya mampir di Mesir. Dari Mesir Ibrahim a.s. mendapat banyak hadiah harta, binatang ternak, budak, dan pembantu bernama Hajar yang keturunan Qibti, Mesir. Di Baitul Maqdis Ibrahim a.s. mendapat penerimaan yang baik.
Selama dua puluh tahun tinggal di Baitul Maqdis, Ibrahim a.s. tidak mendapatkan keturunan sehingga istrinya, Sarah, merasa kasihan dan memberikan budaknya pada Ibrahim. Berkata Sarah pada Ibrahim, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan aku untuk mendapatkan anak. Masuklah pada budakku ini, semoga Allah memberi rezki anak pada kita.”
Setelah itu, lahirlah Ismail a.s. Tetapi Sarah merasa cemburu berat. Akhirnya, Ibrahim a.s. membawa Hajar dan putranya ke suatu tempat yang disebut Gunung Faran (Mekah sekarang), suatu tempat yang sangat tandus, padang pasir yang tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Dan tidak lama setelah kelahiran Ismail a.s., Allah juga memberi kabar gembira bahwa dari perut Sarah akan lahir seorang anak. Lahirlah Ishaq a.s. Ibrahim a.s. sujud, bersyukur atas karunia yang sangat besar ini. Puncak kenikmatan yang diberikan Allah kepada Ibrahim adalah kedua putra itu kelak menjadi nabi dan secara turun-temurun melahirkan nabi. Dari Ishak a.s. lahir Ya’kub dan Yusuf a.s. serta keluarga nabi dari Bani Israil. Sedangkan dari keturunan Ismail a.s. lahirlah Nabi Muhammad saw.
Pengorbanan Ibrahim Dan KeluarganyaEpisode berikutnya dilalui Ibrahim a.s. dan keluarganya dengan pengorbanan demi pengorbanan. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar dari seorang kepala rumah tangga melebihi pengorbanan meninggalkan putra dan istri yang paling dicintainya. Tetapi itu semua dilakukan Ibrahim dengan penuh ikhlas menyambut seruan Allah, yaitu seruan dakwah. Peristiwa ini diabadikan Allah dalam Al-Qur’an di surat 14:37-40.
Disebutkan dalam riwayat, ketika Ibrahim a.s. akan meninggalkan putranya, Ismail, istrinya, Hajar, saat itu dalam kondisi menyusui. Ketika Ibrahim meninggalkan keduanya dan memalingkan wajah, Hajar bangkit dan memegang baju Ibrahim. “Wahai Ibrahim, mau pergi ke mana? Engkau meninggalkan kami di sini dan tidak ada yang mencukupi kebutuhan kami?” Ibrahim tidak menjawab. Hajar terus-menerus memanggil. Ibrahim tidak menjawab. Hajar bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu seperti ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.’ Hajar berkata, “Kalau begitu pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.”
Tapi, itu bukan puncak pengorbanan Ibrahim dan keluarganya. Puncak pengorbanan itu datang dalam bentuk perintah yang lebih tidak masuk akal lagi dari sebelumnya. Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail (Ash-Shaaffat: 102-109).
Berkah PengorbananKisah dan keteladanan Ibrahim a.s. memberikan pelajaran yang sangat dalam kepada kita bahwa pengorbanan akan melahirkan keberkahan. Ibrahim menjadi orang yang paling dicintai Allah, khalilullah, imam, abul anbiya (bapak para nabi), hanif, sebutan yang baik, kekayaan harta yang melimpah ruah, dan banyak lagi. Hanya dengan pengorbananlah kita meraih keberkahan.
Dari pengorbanan Ibrahim dan keluarganya, Kota Makkah dan sekitarnya menjadi pusat ibadah umat manusia sedunia. Sumur Zamzam yang penuh berkah mengalir di tengah padang pasir dan tidak pernah kering. Dan puncak keberkahan dari itu semua adalah dari keturunannya lahir seorang manusia pilihan: Muhammad saw., nabi yang menjadi rahmatan lil’alamiin.
Pengorbanan akan memberikan keberkahan bagi hidup kita, keluarga, dan keturunan kita. Pengorbanan akan melahirkan peradaban besar. Kisah para pahlawan yang berkorban telah membuktikan aksioma ini: Ibrahim dan keluarganya –Ismail, Ishaq, Siti Sarah dan Hajar; Muhammad saw. dan keluarganya –siti Khadijah, ‘Aisyah, Fatimah, dan lain-lain.
Begitu juga para sahabat yang mulia: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan lain-lain. Para pemimpin setelah sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in: Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Mubarak, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Tak ketinggalan para pahlawan dari generasi modern juga telah mencontohkan kepada kita. Mereka di antaranya Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, dan Hasan Al-Banna. Dan kita yakin akan terus bermunculan pahlawan-pahlawan baru yang siap berkorban demi kemuliaan Islam dan umatnya. Sesungguhnya, bumi yang disirami oleh pengorbanan para nabi, darah syuhada, dan tinta ulama adalah bumi yang berkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar